Salah satu sebab utama perusakan
hutan hujan adalah penebangan hutan. Banyak tipe kayu yang digunakan untuk
perabotan, lantai, dan konstruksi diambil dari hutan tropis di Afrika, Asia,
dan Amerika Selatan. Dengan membeli produk kayu tertentu, orang-orang di daerah
seperti Amerika Serikat secara langsung membantu perusakan hutan hujan.
Walau
penebangan hutan dapat dilakukan dalam aturan tertentu yang mengurangi
kerusakan lingkungan, kebanyakan penebangan hutan di hutan hujan sangat
merusak. Pohon-pohon besar ditebangi dan diseret sepanjang hutan, sementara
jalan akses yang terbuka membuat para petani miskin mengubah hutan menjadi
lahan pertanian. Di Afrika para pekerja penebang hutan menggantungkan diri pada
hewan-hewan sekitar untuk mendapatkan protein. Mereka memburu hewan-hewan liar
seperti gorila, kijang, dan simpanse untuk dimakan.
Penelitian
telah menemukan bahwa jumlah spesies yang ditemukan di hutan hujan yang telah
ditebang jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di hutan
hujan utama yang belum tersentuh. Banyak hewan di hutan hujan tidak dapat
bertahan hidup dengan berubahnya lingkungan sekitar.
Penduduk
lokal biasanya bergantung pada penebangan hutan di hutan hujan untuk kayu bakar
dan bahan bangunan. Pada masa lalu, praktek-praktek semacam itu biasanya tidak
terlalu merusak ekosistem. Bagaimanapun, saat ini wilayah dengan populasi
manusia yang besar, curamnya peningkatan jumlah orang yang menebangi pohon di
suatu wilayah hutan hujan bisa jadi sangat merusak. Sebagai contoh, beberapa
wilayah di hutan-hutan di sekitar kamp-kamp pengungsian di Afrika Tengah (Rwanda
dan Congo) benar-benar telah kehilangan seluruh pohonnya.
Menebang Hutan di Borneo
Kayu yang diambil dari Borneo antara
tahun 1985 dan 2000 lebih banyak dari Afrika dan Amazon digabungkan – Lisa
Curran
Pernyataan
di atas adalah bukti tingkat penebangan hutan di Borneo selama sekitar 20
tahun. Pulau ini telah mengalami penebangan hutan paling intensif yang pernah
di catat di hutan tropis dengan penebangan yang kadang melampaui 240 meter
kubik per hektar (rata-rata di Amazon 23 meter kubik per hektar). Intensitas
dari penebangan ini pada akhirnya merusak industri itu sendiri: pasar kayu
jatuh, baik di Malaysia dan Indonesia, dalam 15 tahun terakhir ini. Walau
begitu, tetap hutan adalah hal penting di pulau tersebut saat ini, terutama di
Kalimantan dan Sarawak dimana sebagian besar penduduknya masih bekerja untuk
perusahaan penebangan, menghasilkan ratusan juta USD untuk ekonomi lokal.
Berikut adalah keterangan singkat mengenai penebangan hutan di Borneo. Untuk
informasi lebih lanjut, saya sarankan untuk mencari referensi dari bagian bawah
halaman ini
Sejarah
Penebangan hutan awalnya dimulai di Borneo Malaysia, lalu Kalimantan Indonesia.
Kedua negara melihat kesempatan yang mirip dan meningkatkan putaran dengan
adanya subsidi dari pemerintah di jalanan dan fasilitas pengolahan dan pinjaman
ringan. Penebangan liar sangat tersebar luas di kedua negara.
Malaysia
Pada awal 1990an, paling tidak
sepertiga dari eksportir dari Malaysia adalah ilegal, termasuk 40 persen
kayunya dikirim ke Jepang. Penebangan liar masih menjadi masalah di Malaysia,
walau tak sebanyak di Indonesia. Kebanyakan dari keterlibatan Malaysia dalam
perdagangan ilegal kayu saat ini adalah melalui penyelundupan dan perdagangan
gelap di negara lain, terutama Indonesia. Perusahaan-perusahaan Malaysia ini
terlibat dalam pemanenan ilegal di Kalimantan — kayu kadang kala juga
diselundupkan melewati batas negara dan kemudian dikapalkan dengan membawa nama
“Malaysian” wood.
Indonesia
Penebangan ilegal adalah masalah
yang lebih besar di Indonesia, dimana diperkirakan 70-75 persen dari kayu
dipanen secara ilegal, merugikan pemerintah hingga ratusan juta atau bahkan
miliar di pajak pemasukan yang hilang. Kalimantan Selatan diperkirakan akan
kehilangan pendapatan sebesar 100 juta per tahun dalam bentuk penghasilan
karena lebih dari separuh dari produksi kayu dilakukan secara ilegal.
Menurut WWF,
penebangan kayu ilegal di Indonesia dimotori oleh beberapa faktor: Kapasitas
perusahaan pemotongan kayu di Indonesia dan Malaysia yang berlebihan. Keduanya
memiliki fasilitas untuk mengolah kayu dalam jumlah besar walau produksi kayu
sendiri telah menurun sejak masa-masa tenang di tahun 1990an. WWF melaporkan
bahwa kedua negara tersebut memiliki kemampuan untuk mengolah 58,2 juta meter
kubik kayu setiap tahunnya, sedangkan produksi hutan secara legal hanya mampu
mensuplai sekitar 25,4 juta meter kubik. Sisa kapasitasnya digunakan oleh kayu
yang ditebang secara ilegal.
Kurangnya
kepedulian lokal mengenai penebangan liar. WWF mencatat bahwa kebanyakan orang
di Borneo tidak begitu khawatir dengan penebangan liar. Bahkan, kelangkaan
pekerjaan berarti bahwa rata-rata orang akan senang bekerja di sektor
kehutanan, tak peduli dijalankan secara legal ataupun tidak.
Korupsi dan
kepentingan politis lokal.Penebangan, legal maupun ilegal, menciptakan
pekerjaan dan menstimulasi kegiatan perekonomian lokal untuk jangka pendek,
sesuatu yang hampir tak akan ditolak oleh politikus manapun. Lebih jauh,
petugas yang ulet bisa menikmati kehidupan berkecukupan dengan memenuhi kantong
mereka dengan keuntungan dari kayu-kayu ilegal. Budaya korupsi ini ditanamkan
sejak masa pemerintahan Suharto dan masih mengakar hingga saat ini.
Ekonomi.
CIFOR (2004) menyebutkan bahwa kayu legal membutuhkan biaya 85 USD per meter
kubik untuk mengirimkannya ke perusahaan pemotongan kayu oleh perusahaan besar,
sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh kayu ilegal hanyalah 32 USD. Untuk
pemegang ijin skala kecil, biayanya adalah 46 USD dan 5 USD, berturut-turut.
Sangat lebih murah untuk menggunakan kayu ilegal. Seperti yang disebutkan oleh
WWF, “Keuntungan finansial yang didapat dari penebangan ilegal lebih banyak
dibandingkan dari penebangan legal.”
Atas
alasan-alasan inilah, usaha untuk menghilangkan penebangan ilegal melalui
larangan ekspor dan aturan lain belum bisa dikatakan berhasil. Di tahun 2006,
Amerika Serikat menawari Indonesia 1 juta USD untuk menghapuskan penebangan
gelap, sesuatu yang sedikit melihat bahwa keempat pemerintah Propinsi
Kalimantan secara kolektif merugi lebih dari 1 juta USD dari pendapatan pajak
per hari akibat penebangan ilegal.
Kerusakan Hutan Tak Dapat Dihindari?
Kelangkaan minyak tanah yang kerap
mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu
penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika
itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun
rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan
produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak,
penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh
kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya.
kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan
penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan
minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.
Hutan Ku Yang Semakin Sempit
Hutan Ku Yang Semakin Sempit
Kelangkaan
minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini
dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon
tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin
cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan
terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di
lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah
memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi
pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan
penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan
minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar.
Di Indonesia
berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta
hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam
kawasan hutan. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di
Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an,
tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari
luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa masih tinggal 4
%. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar
meter kubik setiap tahunnya.
Data yang
dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah
kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar
20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum,
dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan
hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan
Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh
Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia
akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan
sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik
serta keuntungan pribadi.
Menurut data
Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat
berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar
kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir
mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan,
dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di
Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank,
hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek
pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,
mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya,
kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar,
diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun.
Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta
jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian
Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8
juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal
logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian
Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian
finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
Penebangan
hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan
terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan
periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode
1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan
salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia.
Semakin
meluasnya lahan kosong atau gundul akibat penebangan liar yang melibatkan oknum
tertentu tidak dapat dipungkiri. Sudah saatnya aksi penebangan liar yang
terjadi di sejumlah hutan lindung harus segera mendapat perhatian lebih serius
dari semua pihak. Kejadian ini akan menyebabkan timbulnya deforensi hutan, yang
merupakan suatu kondisi dimana tingkat luas area hutan yang menunjukkan
penurunan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Indonesia memiliki 10% hutan
tropis dunia yang masih tersisa. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan
kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah
kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen.
Fungsi hutan
sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan
hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi
kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan.
Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian
masyarakat.
Penebangan
hutan skala besar dimulai pada tahun 1970 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya
izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan
tebang habis (land clearing). Selain
itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala
besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan
transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan. Di tahun 1999,
setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya
kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang
sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa ijin yang tak
terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang
dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
Untuk saat
ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum
yang terjadi saat ini memperparah kerusakan hutan. Penyebab kerusakan hutan
tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
Hak Penguasaan Hutan
Banyak perusahaan HPH yang melanggar
pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya
pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan
hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah
dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini
hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori
“sudah terdegradasi”.
Hutan tanaman industri
Hutan tanaman industri telah
dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk
menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia,
tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam.
Perkebunan
Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi.
Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi.
Ilegal logging (Pembalakan Liar)
Pembalakan
liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan
penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki
izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit
didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya
mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di
dunia terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah,
Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan. Sebuah studi kerjasama
antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar
40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365
juta dolar AS.
Studi yang
lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah
dengan ekspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah
merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk
kayu ilegal dari Indonesia.
Program Transmigrasi
Tujuan resmi program ini adalah
untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa [1],
memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan
tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua,
Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia
berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan
untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan
persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan
penduduk asli setempat.
Seiring dengan perubahan lingkungan
strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai
berikut: 1. Mendukung ketahanan
pangan dan penyediaan papan 2. Mendukung kebijakan energi alternatif
(bio-fuel) 3. Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia 4.
Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan 5. Menyumbang
bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan
Transmigrasi
tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk
pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down
dari Jakarta, melainkan berdasarkan Kerjasama Antar Daerah pengirim transmigran
dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan
besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga
mencapai 50:50 dengan transmigran Penduduk Asal (TPA).
Dasar hukum
yang digunakan untuk program ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia]]
Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (sebelumnya UU Nomor 3 Tahun
1972)dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Transmigrasi (Sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973), ditambah
beberapa Keppres dan Inpres pendukung
Kebakaran Hutan
Akibat dari itu semua memberi dampak
buruk pada kita sendiri dan orang lain yang mana kita tahu hutan dapat menyerap
polusi, erosi dan juga dapat mencegah terjadinya banjir, tetapi tidak dapat
memberikan kita kehidupan yang lebih mengarah ke tingkat kesehatan yang lebih
baik, sehingga banyak nya wabah penyakit yang terjangkit disekitar kita, Hutan
merupakan paru-paru dunia yang fungsinya sangat banyak sekali manfaatnya bagi
mahkluk hidup di dunia ini, salah satu nya yang sangat tergantung oleh hutan
yaitu kehidupan fauna,hutan merupakan tempat tinggal, tempat mencari makan,
berkembang biak, berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kalau setiap hari hutan
ditebang dan diberantas apa jadinya kehidupan fauna disekitar kita,karena hidup
mereka sangat tergantung dengan hutan.
Tidak hanya
fauna yang hidupnya tergantung pada hutan seluruh kehidupan yang ada didunia
ini hidupnya akan tergantung dengan hutan bagi manusia hutan sangat diperlukan
untuk berlangsungnya kehidupan, misalnya bagi yang hidup di daerah pelosok
–pelosok sana mereka hanya hidup tergantung dengan hutan, tempat mencari makan,
berladang, dan lain-lain.
Sebelum
hutan habis ditebang, hutan biasa menjadi sahabat bagi kita tetapi setelah
hutan banyak ditebang dimana-mana,hutan menjadi musuh terbesar bagi kita,m
karena hutan akan menjadi sebuah bencana yang tidak dapat kati duga kapan
datang. Seperti binatang yang hidup dihutan, mereka tidak punya tempat tinggal
lagi untuk bernaung, sekian banyak dari mereka banyak yang hampir punah, dan
kalau tempat tinggal mereka tidak ada lagi dimana mereka tinggal, dan bencana
itu sendiri akan datang atas amukan dari binatang buas yang marah,ini akan
menjadi masalah baru.
Fakta penebangan liar
Dunia
Sebuah studi kerjasama antara
Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari
seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar
AS.
Studi yang
lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah
dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah
merupakan penebangan liar.
Malaysia
merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.
Amerika
Di Brasil, 80% dari penebangan di
Amazon melanggar ketentuan pemerintah. Korupsi menjadi pusat dari seluruh
kegiatan penebangan ilegal tersebut.
Produk kayu
di Brasil sering diistilahkan dengan “emas hijau” dikarenakan harganya yang
mahal (Kayu mahogani berharga 1.600 dolar AS per meter kubiknya).
Mahogani
ilegal membuka jalan bagi penebangan liar untuk spesies yang lain dan untuk
eksploitasi yang lebih luas di Amazon.
Dampak pembalakan liar
Data yang
dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah
kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar
20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum,
dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan
hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan
Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh
Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia
akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan
sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik
serta keuntungan pribadi.
Menurut data
Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat
berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar
kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir
mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan,
dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di
Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank,
hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek
pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian,
mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya,
kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar,
diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun.
Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta
jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia
mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data
Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari
sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
No comments:
Post a Comment