MASALAH PUTUS SEKOLAH DAN
PENGANGGURAN
- Tinjauan Sosiologi Pendidikan -
I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Masyarakat global telah dilanda syndrome kronis
dan akut dalam personal manusia dalam berbagai aspek, baik ideologi, moral,
cultural, paradigm, dan sebagainya. Noam Chomsky menilai globalisasi yang tidak
memprioritaskan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab
ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolistik.
Globalisasi semacam itu didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan Negara
dan swasta yang secara umum tidak bertanggungjawab pada publik.[1] Penomena ini berdampak besar bagi order
socialdi dalam membangun peradaban, karena ranah kapitalis dan neoliberalis
yang jadi ‘urat nadi’ dinamika sosial.
Tuntutan kontemporer menegaskan
eksistensi manusia didasari oleh daya saing yang tinggi. Tumbuhnya daya saing
tinggi tentunya di backup oleh pendidikan. Senada dengan hal
tersebut, Druker yang meramalkan bahwa masyarakat modern mendatang adalah
masyarakat knowledge society, dan siapa yang akan menempati posisi
penting adalah educated person.[2] Manusia terdidiklah yang dapat memainkan
peranan penting dalam dunia global kontemporer.
Sebagai
tuntutan atas menguatnya ledakan informasi dan pengetahuan masyarakat modern,
lembaga pendidikan di masa global dalam penyelenggaraan fungsinya harus mampu
mengajarkan bagaimana dapat memperoleh informasi dan mengolah informasi kepada
peserta didik, baik mereka yang berasal dari keluarga yang berkecukupan maupun
yang papa.[3] Dengan
demikian, pemerataan dan akses pendidikan perlu ditingkatkan sehingga fungsi
dan peran pendidikan secara filosofis dapat berjalan dengan baik.
Dalam
konteks epistemologi pendidikan Islam di Indonesia, masih lebih besar penekanan
vertikalnya ketimbang horisontalnya, sehingga pembahasan materi cenderung
melangit, ideal, bermetafisika penuh, dan fokus pada dogmatisme kebenaran yang
terkadang membuat agama dan ilmu pengetahuan tidak terasa fungsinya karena
tidak terlalu praksis emansipatoris.[4] Epistemologi
pendidikan Islam telah banyak terkondisikan dan mengadopsi epistemologi
pendidikan Barat modern yang tentunya tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar dan
semangat Islam karena penuh dengan status quo dan penindasan.
Olehnya itu,
pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi elan vital dalam
memajukan harkat dan martabat masyarakat melalui kesadaran akan pendidikan.
Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan akan menjadi ‘embrio’ bagi eksistensi
kehidupan. Namun, kini masih banyak masyarakat justru tidak dapat mengenyam
pendidikan dan ada yang sudah mengenyam pendidikan (atau putus sekolah) tapi
tidak mendapat tempat yang layak di dalam masyarakat (menganggur). Dalam
makalah ini akan dikaji tinjauan sosiologis pendidikan mengenai putus sekolah
dan pengangguran.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
pembahasan prolog tersebut di atas, maka dalam makalah ini akan dikemukakan
permasalahan yang menjadi kajian sentral, yaitu:
1.
Apa yang menjadi penyebab putus sekolah dan
pengangguran?
2.
Bagaimana tinjauan sosiologi pendidikan terhadap putus
sekolah dan pengangguran?
II. PEMBAHASAN
A. Penyebab
Putus Sekolah dan Pengangguran
1.
Penyebab Putus Sekolah
Putus sekolah dan pengangguran
menjadi masalah krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Putus sekolah
dapat terjadi akibat dari berbagai persoalan dalam aspek politik, ekonomi,
hukum, budaya, dan sebagainya. Putus sekolah masuk ke dalam seluruh ranah
masyarakat khususnya di Indonesia telah menjadi phenomena tersendiri, dan
memiliki motif yang beragam.
Menurut Sekjen Komnas Perlindungan
Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini
terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 %. Adapun di tingkat SD tercatat 23 %.
Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 %. Kalau
digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak SMP dan SMA, jumlahnya mencapai
77 %. Dengan kata lain, jumlah anak usia remaja yang putus sekolah tahun ini
tak kurang dari 8 juta orang.[5] Angka
statistik tersebut menunjukkan tingkat putus sekolah pada jenjang pendidikan
menengah ke bawah masih sangat tinggi, sehingga pendidikan di Indonesia belum
merata pada setiap jenjang.
Angka anak yang putus sekolah umur
8–15 tahun merupakan proporsi anak putus sekolah pada tingkat pendidikan
tertentu pada suatu waktu terhadap jumlah peserta didik pada tingkat pendidikan
tertentu pada waktu tertentu pula. Peserta didik yang putus sekolah adalah
peserta didik yang tidak melanjutkan lagi sekolahnya sebelum menamatkan tingkat
pendidikan yang sedang ia duduki.[6] Peserta
didik yang putus sekolah boleh jadi berhenti atau tidak melanjutkan sekolah ke
jenjang yang lebih tinggi.
Putus
sekolah sering terjadi, baik di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan, pada
masyarakat terdidik maupun yang kurang terdidik. Hal ini mendeskripsikan putus
sekolah dapat terjadi karena faktor yang bervarian. Secara makro, penyebab
putus sekolah disebabkan karena faktor ekonomi, keluarga, teman sebaya, masalah
pribadi.[7] Penyebab
terjadinya putus sekolah secara umum adalah karena terjadinya resesi ekonomi
baik dalam skala makro (bangsa) maupun dalam skala mikro (keluarga), persepsi,
asumsi, dan kondisi keluarga terhadap pendidikan, pergaulan teman sebaya
khususnya pada dampak negatif, dan kondisi anak (baik fisik maupun psikis).
Kemudian
menurut Ny Y. Singgih D. Gunarsa, bahwa faktor penyebab putus sekolah adalah
bersumber pada anak itu sendiri dan bersumber di luar anak, yaitu faktor
keluarga dan sekolah.[8] Pandangan
ini senada dengan pendapat John W. Santrock, namun Y. Singgih juga menekankan
pada pihak sekolah, seperti sistem pendidikan, layanan pendidikan, biaya
pendidikan, akses pendidikan, dan sebagainya. Sekolah dapat menjadi penyebab
terjadinya putus sekolah bagi anak apabila kurang respek dengan sistem
pembelajaran yang memenjarakan, biaya pendidikan tinggi, akses pendidikan
terbatas atau tidak terjangkau.
Apresiasi Wahono menilai orang
tua khususnya di Indonesia rata-rata sadar akan pentingnya pendidikan sehingga
faktor ekonomi yang menjadi alasan mendasar. Penyebab anak putus sekolah ada
kaitan erat antara beban ekonomi masyarakat dan kegiatan pendidikan, yakni
karena kesulitan finansial, ujung-ujungnya adalah demi membantu ekonomi orang
tua, anak-anak terpaksa terbengkalai pendidikannya, dan bahkan mereka putus
sekolah.[9] Keluarga
yang belum beruntung secara ekonomi menjadikan anak sebagai penopang dalam
pemenuhan ekonomi keluarga, sehingga anak terpaksa membantu keluarganya mencari
nafkah dan akhirnya putus sekolah.
Tingginya
angka putus sekolah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Anak yang putus sekolah membawa keresahan sosial, ekonomi,
moral, dan masa depan. Menurut H. Sahilun A. Nasir menyatakan bahwa akibat anak
putus sekolah membawa dampak terjadinya degradasi moral, budi pekerti, patriotisme,
dan ketidakpuasan para anak, maka pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian
besar bangsa, masyarakat, dan Negara.[10] Pada
dasarnya, anak yang putus sekolah menjadi beban Negara dalam berbagai aspek,
seperti ekonomi, degradasi kultural, moral, intelektual, spiritual, sosial, dan
sebagainya.
2.
Penyebab Pengangguran
Pengangguran menjadi wacana urgen dikaji, baik dalam
skala lokal maupun global. Karena pengangguran membawa dampak yang sangat besar
bagi kelangsungan hidup masyarakat dan bangsa. Rakyat yang menganggur
mengakibatkan keresahan di dalam masyarakat seperti beban social, psikologis,
ekonomi, dan sebagainya. Seseorang dapat hidup dengan eksis apabila dapat hidup
dengan layak, aman, adil, dan sejahtera. Seseorang yang menganggur sangat sulit
menempuh hidup yang layak, aman, merasakan dan bersikap adil, serta sejahtera.
Konteks pengangguran di Indonesia, menurut hasil
survey angkatan kerja nasional BPS (Badan Pusat Statistik) Februari 2007
tercatat pengangguran 10,5 juta jiwa (9,75%), dan sedangkan pengangguran
intelektual sebanyak 740.206 jiwa (7,02%).[11] kemudian
keterangan yang lain menunjukkan pengangguran pada tahun 2009 sudah mencapai 10
juta jiwa (12 %). Angkat tersebut sangat tinggi sehingga sangat rawan dalam konteks
kehidupan sosial, dan tingginya angka pengangguran menunjukkan stabilitas
sosial dan ekonomi semakin terancam.
Pengangguran
merupakan suatu keadaan yang menakutkan, karena energi sekelompok orang, yang
tidak dapat disalurkan lewat pekerjaan atau kegiatan yang produktif, kemudian
mencari jalan penyaluran yang merugikan masyarakat atau malahan membahayakan
orang lain.[12] Hal tersebut menjadi bagian yang sangat penting
mencari jalan keluar dari lingkaran pengangguran. Semakin tinggi jumlah
penganggur maka semakin berdampak besar pada pembangunan order social,
seperti keresahan sosial, konflik, kemiskinan, dan sebagainya.
Dalam konteks sosiologis, pengangguran dapat terjadi
dalam berbagai bentuk, yaitu:
a.
Pengangguran Struktural (menganggur karena terjadi
resesi ekonomi atau PHK).
b.
Pengangguran sementara (menganggur karena pindahnya
dari pekerjaan satu ke pekerjaan lain).
c.
Pengangguran tidak tetap (menganggur karena selesai
kontrak dan menunggu kontrak lain).
d.
Pengangguran teknologi (menganggur karena pergantian
tenaga mekanik).
Pengangguran
dapat menimpa masyarakat apabila terjadi resesi ekonomi secara global dan
nasional sehingga menjamur PHK karena sector ekonomi rill tidak mampu membiayai
tenaga kerja. Pengangguran juga dapat terjadi apabila job kerja dimutasi dari
tempat yang satu ke tempat yang lain, kontrak kerja selesai atau pekerjaan yang
tidak kontiniu. Akselerasi teknologi mutakhir dapat menimbulkan pengangguran
karena pekerjaan digantikan system mekanik yang dapat menggantikan tenaga
manusia. Kemudian pengangguran terjadi akibat dari semangat kerja atau sikap
malas yang menggerogoti seseorang.
Permasalahan
pengangguran menjadi masalah besar, maka dibutuhkan penanganan dan penyelesaian
yang serius. Menurut Minsky, pengangguran tidak dapat diatasi tanpa campur
tangan pemerintah, dalam hal ini pasar tidak akan dengan sendirinya
menyelesaikan persoalan pengangguran serta derivasi masalah yang
ditimbulkannya, seperti kemiskinan dan ketimpangan.[14] Olehnya itu, pemerintah dan tentunya masyarakat
harus sinergis dalam membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi.
Pemerintah membuka akses pendidikan yang seluas-luasnya, menciptakan lapangan
kerja dan memberikan jaminan kerja kepada masyarakat. Kemudian masyarakat harus
menumbuhkan kesadaran yang tinggi terhadap pendidikan, meningkatkan etos kerja
dan semangat entrepreneurship.
B. Tinjauan Sosiologi Pendidikan terhadap
putus sekolah dan pengangguran
Pendidikan merupakan esensi dasar dari kehidupan
manusia. Manusia dapat hidup dengan baik apabila didukung oleh landasan
pendidikan yang benar, terutama dalam era kompetitif sekarang ini. Karena
pendidikan berfungsi sebagai alat yang strategis dalam pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM).[15] Pendidikan menjadi motor penggerak
kelangsungan hidup layak, baik dalam konteks politik, sosial, ekonomi, maupun
budaya.
Problem dalam pendidikan yang ada di Indonesia adalah;
bentuk pendidikan yang bersifat Parsial, Pragmatis, dalam banyak hal justru
bersifat paradox.[16] Parsial,
karena pendidikan yang ada hanya sebatas mengembangkan intelektual dan
ketrampilan dan melupakan pendidikan akhlak dan moral. Hal tersebut menjadikan
hasil dari pendidikan yang semacam ini menumbuhkan banyak orang-orang yang
trampil dan cerdas secara intelektual namun miskin dalam peringai dan tingkah
laku, sehingga banyak orang-orang pintar namun rusak moral dan ahlaknya.
Pendidikan yang demikian adalah agen untuk melayani kepentingan dan kebutuhan
hidup yang ada dalam masyarakat. Karena masyarakatnya industri maka yang laku
adalah fakultas ekonomi, karena masyarakatnya butuh informasi dan tehnologi
maka yang laris adalah fakultas tehnik informatika dan lain sebagainya.
Bersifat
Praktis dan pragmatis,[17] hal tersebut
tercermin dalam orientasi pendidikan yang ada, yaitu lapangan kerja; dalam
banyak hal sekolah didirikan dengan konsep siap pakai, siap kerja, siap latih.
Mengukur hasil pendidikan dengan ukuran yang sederhana, berapa lama kuliah
dapat diselesaikan, IPK yang dapat dicapai. Kesuksesan sebuah lembaga
pendidikan dilihat dari seberapa cepat peserta didiknya diterima di lapangan
kerja, dan seberapa besar gaji yang dapat diperolehnya. Hal demikian bertolak
belakang dengan konsep pendidikan dalam Islam. dimana dimensi terpenting dari
hidup manusia yang menjadi orientasinya, bagaimana pendidikan dapat memberikan
pengaruh dalam jiwa peserta didik untuk mengembangkan manusia menjadi semakin
bertaqwa, beriman, berbudi luhur, berpengetahuan luas, trampil dan lain
sebagainya. Pendidikan yang ada di Indonesia tidak menyentuh aspek substansi
atau yang hakiki dan inti tersebut, melainkan hanya pada kisaran kulit dan
kepentingan sesaat. Hal tersebut terjadi karena pandangan yang keliru dalam
memahami hakekat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia.[18]
Bersifat
paradox, pendidikan sesungguhnya adalah proses peniruan, pembiasaan,
penghargaan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dalam pendidikan yang ada di
Indonesia sulit sekali menemukan seorang Pendidik yang ideal, yang menjadi
sumber inspirasi bagi anak didiknya. Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad
Samir Al Munir menyatakan bahwa:
“kami
meletakan belahan hati dan jiwa kami di hadapan anda agar mereka mendengarkan
apa kata anda. Mata mereka terikat kepada anda. Yang baik menurut mereka adalah
apa yang anda perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang anda
tinggalkan. Karena itu, dalam memperbaiki mereka, yang pertama kali harus anda
perbaiki adalah diri anda sendiri. Anda jaga diri anda agar senantiasa berada
di dalam kebaikan…di hadapan anda ada saudara-saudara dan anak-anak kami.
Mereka mendapat hidayah dengan ilmu anda. Mereka menuai buah dari benih yang
anda tanam, karena itu jadilah teladan yang baik bagi mereka”[19]
Konsep pendidikan dalam tinjauan Islam yang diharapkan
adalah bagaimana peserta didik dapat cerdas intelektual, emosional, spiritual,
social, dan teknikal. Integrasi ini akan menjadi cerminan muslim yang dapat
hidup eksis, dinamis, inovatif-kreatif, dan menjadi rahmatan lil alamin.
Proses pendidikan yang dilaksanakan harus memiliki visi misi yang jelas,
pelayanan yang tepat, dikelola secara profesional, dan berorientasi pada
peserta didik dan tuntutan zaman.
Berbagai persepsi berkembang bahwa pendidikan konteks
ke-Indonesia-an cenderung untuk mengeksploitasi anak agar mampu bersaing dengan
yang lainnya demi memperoleh pekerjaan yang ujung-ujungnya adalah
“kesejahteraan di bidang ekonomi”[20],
mendapatkan pekerjaan yang layak, menjadi orang yang kaya. Karena ukuran untuk
mendapatkan pekerjaan adalah kepemilikan Izajah, sementara Izajah isinya adalah
deretan angka yang diperoleh alumnus ketika menjawab soal ujian, maka jelaslah
yang menjadi goal terbesar dalam pendidikan kita adalah otak. Orang tua akan
malu apabila nilai matematika anaknya tiga, atau dua.
Karena itu
pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya manusia agar tidak sekedar
menjadi manusia penerima arus informasi global, namun harus memberikan bekal
kepada manusia agar dapat mengolah, meyesuaikan dan mengembangkan apa yang
diterima melalui arus informasi itu, dengan demikian visi pendidikan adalah
menciptakan manusia yang kreatif dan produktif.[21] Visi
pendidikan inilah yang perlu digalakkan secara kontiniu dan apabila secara
konsisten visi tersebut dijalankan maka luaran pendidikan dapat fungsional di
masyarakat.
Permasalahan penting adalah adanya
putus sekolah dan pengangguran, dan hal tersebut membutuhkan solusi cepat dan
tepat. Menurut H. Abu Ahmadi bahwa mengatasi pengangguran dapat dilakukan
dengan cara keseimbangan pembangunan ekonomi dan pendidikan.[22] Pembangunan ekonomi menjadi
prioritas sehingga seluruh masyarakat menjangkau pendidikan, mulai usia dini
(PAUD), dasar (SD), menengah (SMP dan SMA) sampai pedidikan tinggi. Masyarakat
yang berpendidikan tinggi akan melahirkan luaran yang kreatif dan dapat
menopang tumbuhnya ekonomi, ekonomi yang baik akan dapat membuka pasar kerja yang
luas, dan hal inilah dapat meminimalisir putus sekolah dan pengangguran.
Pendidikan secara formal, adalah
sekolah cukup berperan dalam mencerdaskan generasi bangsa. Kualitas pendidikan
bangsa terlihat dalam kualitas sekolah dalam menjalankan proses pendidikan.
Dengan demikian fungsi sosial sekolah, adalah:
a.
Sekolah selalu memandang peranan dalam beberapa fungsi
di dalam menyiapkan individu untuk mencari nafkah dan ikut serta dalam struktur
pekerjaan yang berkembang.
b.
Sekolah menolong memperkenalkan anak kepada kebudayaan
masyarakatnya dan meluaskan partisipasinya dari batas lokal ke batas nasional,
dan pentingnya kemajuan teknologi.
c.
Sekolah menciptakan individualitas.
d.
Sekolah berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan lain,
menyelesaikan mensinyalir elit-elit yang akan membawa tanggungjawab yang
terberat baik lokal maupun nasional.
e.
Sekolah direncanakan untuk mengabdikan dan memperbaiki
sistem pendidikan itu sendiri untuk melindungi hal-hal yang telah ada dan
memperkenalkan sistim intelektual baru.[23]
Sekolah menyiapkan peserta didik
untuk hidup eksis dalam dunia kerja dan fungsional dalam masyarakat,
mengembangkan kebudayaan dan partisipasi social, menciptakan individu yang
berdaya saing tinggi, melahirkan manusia yang berani dan mau bertanggungjawab, dan
memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan sains.
Apabila sekolah sebagai satuan
pendidikan dapat berperan dengan maksimal dalam kehidupan masyarakat, maka
masyarakat dapat tercerdaskan dan terangkat harkat dan martabatnya. Namun, kini
masih banyak masyarakat yang putus sekolah yang tentunya menjadi hambatan dalam
‘pengikisan’ pengangguran dan pembangunan ekonomi. Hal tersebut di antara
dampak negatif yang ditimbulkan bagi anak yang putus sekolah adalah:
a.
Menambah jumlah pengangguran.
b.
Kerugian bagi masa depan anak, orang tua dan
masyarakat, serta bangsa
c.
Menjadi beban orang tua, dan
d.
Menambah kemungkinan terjadinya kenakalan anak dan
tidak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat.[24]
Dampak negatif bagi terjadinya putus
sekolah adalah membuka ‘krang’ pengangguran, putus sekolah menutup masa depan
yang cerah, orang tua, masyarakat, dan bangsa, putus sekolah menjadi beban
semua pihak, baik ekonomi, social, moral, spiritual, intelektual, dan
sebagainya.
Secara empiris telah terjadi
kekurang-sepadanan antara supply (persediaan) dan demand (permintaan)
keluaran pendidikan. Dalam arti lain, adanya kekurangcocokan kebutuhan dan
penyediaan tenaga kerja, dimana friksi profil lulusan merupakan akibat langsung
dari perencanaan pendidikan yang tidak berorentasi pada realitas yang terjadi
dalam masyarakat. Pendidikan dilaksanakan sebagai bagian parsial, terpisah dari
konstelasi masyarakat yang terus berubah. Pendidikan diposisikan sebagai mesin
ilmu pengetahuan dan teknologi, cenderung lepas dari konteks kebutuhan
masyarakat secara utuh.
Phenomena dalam budaya kapitalis
yang menuntut masyarakat hidup kompetitif, siapa yang unggul dialah yang eksis,
dan yang tidak unggul justru ‘tertindas’. Kebudayaan kapitalis secara alamiah
mengarah pada pengutukan secara moral orang yang gagal menghasilkan kekayaan
atau kemakmuran.[25] Tuntutan hidup harus keratif dan
inovatif, etos kerja yang tinggi, visioner, dan seterusnya harus selalu
dikembangkan karena akibat dari globalisasi, budaya kapitalisme merasuk ke
dalam ‘urat nadi’ kehidupan masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, upaya ideologis yang
berjuang untuk menunjukkan kehormatan orang miskin mengurangi perhatian
terhadap dasar struktural kemiskinan yang lebih penting, seperti rendahnya upah
minimum, rendahnya tingkat pengorganisasian serikat buruh, dan merosotnya
jumlah pekerjaan tanpa keterampilan di industri berat.[26]Melihat korporasi berperan besar dalam
konstelasi ekonomi, maka pihak tenaga kerja sering dirugikan karena biasanya
terjadi benturan kepentingan, yaitu industri berkepentingan untung, dan pihak
tenaga kerja berkepentingan kelayakan kemanusiaan.
Hal-hal tersebut dapat dilihat dari
berbagai friksi, antara lain friksi tingkat pendidikan, friksi kompetensi, dan
friksi substansi.
i.
Friksi tingkat pendidikan ditandai oleh
kekurangsesuaian antara kebutuhan, terhadap lulusan suatu tingkat pendidikan
tertentu, dengan persediaannya. Friksi ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam
bursa kerja dan menyebabkan menumpuknya lulusan program pendidikan pada tingkat
tertentu, namun justru kekurangan pada segmen yang lainnya. Mengenai hal itu
dapat dilihat dimana kebutuhan tenaga kerja dengan kualifikasi tamat SD, tamat
SLTP, dan tamat SLKTP sejauh ini masih mengalami kekurangan. Khusus untuk
SLKTP, kenyataan itu sangat ironis, mengingat hampir dua dasa warsa terakhir
lembaga pendidikan yang menghasilkan lulusan dengan kualifikasi ini, SMEP, ST,
SKKP dan sejenisnya, malah telah ditutup. Kenyataan tersebut sama sekali tidak
menapik keberhasilan pembangunan pendidikan, sehingga tingkat pendidikan
masyarakat lebih meningkat. Namun, masalahnya terletak pada perencanaan
pendidikan yang tidak melihat pendidikan sebagai wacana yang dipenuhi oleh
disparitas, baik pada tataran input, proses, maupun output.
ii.
Friksi kompetensi sebagai akibat lemahnya perencanaan
penetapan bidang keilmuan. Polarisasi yang tajam antara program pendidikan
eksak dan non-eksak menyebabkan lulusan dengan kompetensi tertentu lebih banyak
menganggur ketimbang pada program kompetensi lainnya. Penjurusan yang kaku
serta sikap arogansi keilmuan telah membawa lulusan suatu lembaga pendidikan
terpojok pada satu sisi yang "gelap" tanpa memiliki pilihan yang
lain.
iii.
Friksi substansi sebagai akibat terjadinya konsep
pendidikan yang sasarannya kurang link and match dengan
tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Materi yang disajikan di sekolah masih belum
menyentuh secara utuh dengan tuntutan dunia luar.
Untuk kepentingan itu, maka
disarankan berbagai pemikiran untuk pemecahan masalah pengangguran terdidik
antara lain sebagai berikut:
i.
Melaksanakan reorientasi lembaga pendidikan,
reorientasi itu menyangkut, a) reorentasi pendekatan, b) reorentasi program,
dan c) reorentasi kelembagaan.
Reorientasi pendekatan, khususnya dalam memodifikasi pendekatan dari
kuantitatif menjadi kuantitatif-kualitatif. Dalam arti pendekatan pemerataan
harus diimbangi secara proporsional dengan perhatian terhadap mutu proses dan
hasil pendidikan. Dengan demikian, secara bertahap mutu lulusan dapat lebih
diterima dunia kerja dan secara absolut mampu mengimbangi laju dinamika dunia
kerja.
Konsekwensi dari pada itu, pendidikan harus dilihat sebagai upaya rasional.
Dalam arti lain pendidikan harus dilihat sebagai proses investasi bukan lagi
proses konsumtif. Sehingga pesan-pesan dan kepentingan yang berada di luar
kepentingan pendidikan harus mulai dihapus. Dan campur tangan, dari pihak
manapun, yang kurang proporsional dengan upaya peningkatan kualitas program
pendidikan sebaiknya dihindari.
Pendidik harus dihargai sebagai perkerjaan profesional yang memiliki hak
untuk memanfaatkan "bargaining position" nya secara
bermartabat. Karena dengan kesadaran profesional seperti itu, Pendidik secara
lebih aktif dapat memberikan kontribusinya terhadap perbaikan kualitas proses
pembelajaran.
Reorentasi program, memberdayakan program "link and match"
melalui "cooperative education" dan "dual system"
dalam kurikulum. Untuk itu perlu peningkatan kemampuan dalam pembobotan
kurikulum, mutu tenaga pengajar, dan kepedulian dunia kerja. Lembaga pendidikan
merupakan sub sistem dari sistem sosial pembangunan, oleh itu keberadaan dan
eksistensinya tidak lepas dari sub sistem lainnya. Dengan demikian sharing ide
maupun aktivitas lainnya yang bernuansa sinergi dengan komponen lain hendaknya
harus merupakan bagian tak terpisahkan dari program perbaikan sinambung (countinues
improvement) program pembelajaran. Pengabaian dari fakta tersebut hanya
menciptakan "menara gading" yang tidak memiliki manfaat yang berarti
bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat secara umum, khususnya bagi penciptaan
kesiapan lulusan untuk berkiprah dalam dunia kerja.
Reorentasi kelembagaan, perlu mengkaji ulang keberadaan lembaga pendidikan
yang memiliki tingkat kejenuhan untuk lulusannya di lapangan kerja. Konversi
IKIP ke dalam Universitas merupakan langkah kongkrit yang perlu terus
dilaksanakan secara konsisten, konversi itu berimplikasi pada menurunnya jumlah
penawaran tenaga pengajar yang secara langsung akan menyebabkan meningkatnya
penghargaan dan harkat hidup tenaga pendidik. Kebijaksanaan konversi ini pun
dapat dilakukan untuk lembaga pendidikan lainnya terutama pada bidang keilmuan
yang sudah jenuh.
ii.
Investasi sosial (peningkatan anggaran pendidikan)
sebagai perangsang investasi individual. Untuk mengatasi kebocoran devisa
akibat larinya dana pendidikan masyarakat berpenghasilan tinggi ke luar negeri,
perlu diupayakan pendirian sekolah unggulan baik yang dibiayai oleh swasta
maupun pemerintah. Untuk itu perlu seperangkat kebijakan guna lebih
memperlancar program tersebut, di antaranya: (a) regulasi pengelolaan
pendidikan, dan (b) meningkatkan investasi pemerintah lewat peningkatan
anggaran pendidikan.
iii.
Sebagai salah satu alternatif untuk memperluas
kesempatan kerja bagi tenaga kerja terdidik perlu diperluas kesempatan
berkembangnya sektor informal. Daya serap sektor ini cukup besar dan memiliki
kemampuan yang tak terbatas. Pelita IV 56% TK terserap di sektor ini sementara
sektor formal terutama bidang jasa memiliki kemampuan serap yang sangat
terbatas. Berbagai kebijaksanaan untuk memberi peluang berkembang sektor
informal harus terus diupayakan dengan tidak mengurangi usaha penanganan ekses
negatif dari berkembangnya sektor ini.
Banyak alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan untuk mengoperasionalkan
ide gerakan untuk menghadapi persoalan ketenagakerjaan tersebut di atas.
Beberapa di antara adalah sebagai beriikut:
a.
Perluasan kesempatan berusaha yang sebanyak-banyaknya
didukung oleh berbagai fasilitas kredit UMKM, perpajakan, serta bimbingan
produksi dan pemasaran di bidang-bidang pertanian dan perkebunan, nelayan,
inudstri kecil dan menengah, serta perdagangan.
b.
Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dengan
pola gotong royong disertai dukungan regulasi sistim administrasi keuangan yang
menunjang, tertuama untuk mendukung peningkatan kemampuan transportasi darat,
baik dengan mobil maupun kereta api.
c.
Penerapan jadwal kerja industri dan perkantoran secara
bergiliran, 2, 3, atau 4shift guna membagi kesempatan kerja secara
merata dengan tetap menjaga dan meningkatkan produktifitas kerja dan usaha.
d.
Pengerahan dan penempatan tenaga kerja Indonesia
terlatih keluar negeri secara terkendali dan besar-besaran.
e.
Peningkatan penyelenggaraan pelatihan kerja dan
pendidikan/pelatihan kembali (remedial education and remedial training)
untuk para sarjana, dan penyelenggaraan program sarjana masuk desa.
Pemerintah telah berupaya menekan
angka putus sekolah dan pengangguran, namun aksentuasinya lebih pada aspek
ekonomi. Tetapi, apabila ditinjau dari pendidikan, maka putus sekolah dan
pengangguran diakibatkan oleh kesadaran etis dan social masyarakat dalam
mengikuti pendidikan khususnya pendidikan formal. Pemerintah membangun image sekolah
yang alumninya siap kerja justru melahirkan ketidak proforsionalan lembaga
pendidikan. Revitalisasi pendidikan menengah kejuruan (SMK) dan politeknik
serta peningkatan relevansi kurikulum dan program belajar mengajar yang lebih
sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.[27] SMK inilah menjadi salah satu
tawaran pemerintah kepada masyarakat untuk mengurangi pengangguran dan
kebangkrutan ekonomi masyarakat.
III. PENUTUP/KESIMPULAN
A. Penyebab
terjadinya putus sekolah di masyarakat adalah masalah ekonomi, kondisi anak,
sekolah, dan keluarga. Kemudian penyebab terjadinya pengangguran karena terjadi
resesi ekonomi, rendahnya SDM, akselerasi teknologi, dan sebagainya.
B. Pendidikan sangat
penting dalam membangun order social yang berkeadaban.
Peradaban dapat tumbuh apabila masyarakat hidup dengan aman, adil, dan
sejahtera. Keamanan, keadilan, dan kesejahteraan dalam terwujud di dalam
masyarakat apabila terdidik dan bekerja. Masalah putus sekolah dan pengangguran
menjadi ‘embrio’ keresahan sosial dan Negara. Putus sekolah dan pengangguran
kebanyakan disebabkan oleh factor ekonomi, dan pembangunan ekonomi dapat
dilakukan dengan dukungan SDM unggul, dan penciptaan SDM unggul dapat dilakukan
dengan pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, H.
Abu, Sosiologi Pendidikan, (Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta,
2007)
Asshiddiqie,
Jimly, Dampak Krisis Global, Problem, dan Tantangan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri, makalah disampaikan
dalam Lokakarya Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia dalam
rangka Evaluasi atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 yang diselenggarakan oleh
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Jakarta,
15 Desember 2008.
Bean, Reynold, Membantu
Anak agar Berhasil di Sekolah, (Cet. I, Jakarta: Bina Rupa Aksara,
1995)
Buchori,
Muchtar, Transformasi Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995)
Danes,
Simon, dan P. Hardono Hadi, Masalah-masalah moral sosial aktual dalam
perspektif iman Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2000)
Daud, Wan
Mohd Nor Wan, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas”
terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice of Syed
Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan ISTAC 1998, (Cet.I, Bandung: Mizan, 2003)
Gunarsa, Ny.
Y. Singgih D., Psikologi Membimbing, (Cet. 9, Jakarta: PT.
Gunung Mulia, 2000)
Howard,
Rhoda E., Human Raights and the Search for Community, diterjemahkan
oleh Nugraha Katjasungkana dengan judul “HAM–Penjelajahan Dalih Relativisme
Budaya”, (Cet. I, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2000)
Karim,
Muhammad, Pendidikan Kritis Transformatif, (Cet. I,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009)
Katz,
Michael B., The Undeserving Poor: From the War on Poverty to the War on
Welfare, (New York: Pantheon Books, 1989)
Kleden,
Ignas, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan, (Yogyakarta: Penerbit
Agromedia Pustaka, 2004)
Manurung,
Robert., 12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah, diposting dalamhttp://ayomerdeka.wordpress.com/09/05/2009
Mastuhu, Pendidikan
Indonesia Menyongsong “Indonesia Baru” Pasca Orde Baru, dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan GEMA Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, Edisi 1, Jakarta
Munir,
Mahmud Samir Al-, al-mu’alim arrabbany, terjemahan Uqinu
Attaqi dengan judul “Guru Teladan di bawah Bimbangan Allah”, (Cet. I, Jakarta:
Gema Insani, 2003)
Nasir, H.
Sahilun A., Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem Remaja, (Cet.
I, Jakarta: Kalam Mulia, 1999)
Nata,
Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Grasindo, 2001)
“Pengangguran
Intelektual di Indonesia Meningkat”, Media Indonesia, Kolom
4-5, Edisi Jum’at, 15 Pebruari 2008
Prasetyantoko,
A., Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta:
Penerbit Kompas, 2008)
Purba,
Jonny, (Penyunting), Pengelolaan Lingkungan Sosial, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005)
Rahardjo, M.
Dawam, (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan-Menjawab Tantangan
Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, ( Jakarta : Intermasa, 1997 )
Rais,
Mohammad Amien, Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Cet.
III, Yogyakarta: PPSK Press, 2008)
Santrock,
John W., Adolescence: Perkembangan Remaja, Terjemahan, Edisi
6, (Surabaya: Erlangga, t.th.)
Suprayogo,
Imam, Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun Tradisi
dan Aksi Pendidikan Islam, (Cet I, Malang: UIN Malang, 2004)
Wahono, Belajar
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Cet. 3, Jakarta: Rineka
Cipta, 1995)
[1] Lihat
penjelasan lebih lanjut Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa:
Selamatkan Indonesia! (Cet. III, Yogyakarta: PPSK Press, 2008), h. 22.
[2] Mastuhu, Pendidikan
Indonesia Menyongsong “Indonesia Baru” Pasca Orde Baru, dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan GEMA Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, Edisi 1,
Jakarta, h. 8.
[4] Muhammad
Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, (Cet. I, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2009), h. 71.
[5] Robert
Manurung, 12 Juta Anak Indonesia Putus Sekolah, diposting
dalamhttp://ayomerdeka.wordpress.com/09/05/2009
[6] Jonny
Purba (Penyunting), Pengelolaan Lingkungan Sosial, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 134
[7] John
W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja, Terjemahan,
Edisi 6, (Surabaya: Erlangga, t.th.), h. 264
[8] Ny. Y.
Singgih D. Gunarsa, Psikologi Membimbing, (Cet. 9, Jakarta:
PT. Gunung Mulia, 2000), h. 113.
[9] Wahono, Belajar
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Cet. 3, Jakarta: Rineka
Cipta, 1995), h. 109.
[10] H.
Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama Terhadap Pemecahan Problem
Remaja, (Cet. I, Jakarta: Kalam Mulia, 1999), h. 5.
[11] “Pengangguran
Intelektual di Indonesia Meningkat”, Media Indonesia,Kolom 4-5,
Edisi Jum’at, 15 Pebruari 2008, h. 8.
[12] Ignas
Kleden, Masyarakat dan Negara: Sebuah Persoalan,(Yogyakarta: Penerbit
Agromedia Pustaka, 2004), h. 37
[13] Simon
Danes dan P. Hardono Hadi, Masalah-masalah moral sosial aktual dalam
perspektif iman Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 117
[14] A.
Prasetyantoko, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta:
Penerbit Kompas, 2008), h. 103
[15] M.
Dawam Rahardjo (Ed.), Keluar dari Kemelut Pendidikan-Menjawab Tantangan
Kualitas Sumber Daya Manusia Abad 21, ( Jakarta : Intermasa, 1997 ),
h. 27.
[16] Imam
Suprayogo, Pendidikan Berpradigma Al-Qur’an, Pergulatan Membangun
Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Cet. I, Malang: UIN Malang, 2004), h.
12
[18] Wan
Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib
Al-Attas” terjemahan dari Bhs Enggris “The Educational Philosophy and Practice
of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” terbitan ISTAC 1998, (Cet.I, Bandung: Mizan,
2003), h. 163
[19] Mahmud
Samir Al-Munir, al-mu’alim arrabbany, terjemahan Uqinu
Attaqi dengan judul “Guru Teladan dibawah Bimbangan Allah”, (Cet. I, Jakarta:
Gema Insani, 2003), h. 15 - 16
[21] Abuddin
Nata, Paradigma Pendidikan Islam Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 83
[24] Reynold
Bean, Membantu Anak agar Berhasil di Sekolah, (Cet. I,
Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995), h. 99.
[25] Michael
B. Katz, The Undeserving Poor: From the War on Poverty to the War on
Welfare, (New York: Pantheon Books, 1989), h. 9.
[26] Rhoda
E. Howard, Human Raights and the Search for Community,diterjemahkan
oleh Nugraha Katjasungkana dengan judul “HAM – Penjelajahan Dalih Relativisme
Budaya”, (Cet. I, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2000), h. 265.
[27] Jimly
Asshiddiqie, Dampak Krisis Global, Problem, dan Tantangan Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Keluar Negeri, makalah
disampaikan dalam Lokakarya Sistem Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia dalam rangka Evaluasi atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 yang
diselenggarakan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Jakarta, 15 Desember 2008, h. 3
No comments:
Post a Comment