Tuesday, July 8, 2014

Outsourcing : Masalah yang Tak Berujung

Akhir-akhir ini istilah outsourcing menjadi topik yang sering dibicarakan. Namun menjadi isue hangat pada saat May Day, atau yang kita kenal dengan Hari Buruh, dimana buruh beramai-ramai menentang penggunaan outsourcing karena dianggap tidak sesuai dengan kemanusiaan. Sebelum terjerumus dengan perdebatan panjang maka sebaiknya secara bersama memahami dulu apa itu outsourcing.
 Outsourcing secara umum dapat diartikan sebagai proses memperkerjakan pihak ketiga dengan suatu bentuk kontrak. Dalam bukunya, Sukses Implementasi Outsourcing, Iftida Yasar menyebutkan bahwa outsourcing adalah penyerahan kegiatan perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam kontrak perjanjian. Apa kata Undang-Undang? Undang-Undang No.13 tahun 2003 pasal 64 menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Yang menjadi kesamaan adalah penyerahan pelaksanaan pekerjaan dan diatur dalam bentuk perjanjian tertulis.



Kenapa Outsourcing?
Sebetulnya penyerahan pekerjaan kepada pihak lain boleh dikatakan sudah ada sejak zaman dahulu. Pada saat ingin memperistri Rara Jonggrang, Raden Bandung diberikan syarat berupa harus sanggup membangun 1000 buah candi dalam waktu satu malam. Raden Bandung memanggil Bandawasa, jin peliharaannya, yang kemudian memanggil jin-jin yang lain. Untuk kondisi saat ini dimana budaya dalam rumah tangga sudah berubah, seorang istri tidak hanya berada di rumah melainkan juga membantu mencari nafkah untuk keluarga, banyak pekerjaan yang dilakukan oleh asisten rumah tangga mulai dari membersihkan rumah, menjaga rumah, sampai menjaga anak baseta (dibawah sepuluh tahun).
Bila melihat ilustrasi dari cerita diatas, penyerahan pekerjaan bisa terjadi disaat pekerjaan tersebut tidak bisa dilakukan sendiri. Baik karena tidak memiliki keahlian, atau yang sering kita dengar dengan kompetensi, maupun karena ada pekerjaan lain yang akan menyita perhatian lebih. Raden Bandung tentunya tidak memiliki kompetensi untuk membangun 1000 buah candi bila dibantu dengan manusia biasa. Suami dan istri yang bekerja tentunya memiliki sedikit kesempatan untuk bisa membersihkan maupun menjaga rumah ataupun siapa yang ingin anak yang belum bisa mandiri hidup tanpa pengawasan?
Penyerahan pekerjaan juga bisa dilakukan pada saat kondisi yang ada akan mengalami perubahan yang cukup drastis pada waktu singkat. Tentunya tanaman tidak akan selalu berbuah setiap saat, ada masa tanam diikuti dengan masa kembang kemudian masa panen. Bila masuk masa panen tentunya akan banyak hasil tanaman yang bisa diolah untuk di produksi, namun memasuki masa tanam kemudian proses tentu produksi akan berkurang kegiatannya. Produksi kemungkinan akan mengalami penurunan produktivitas yang sangat luar biasa pada saat menunggu hasil panen bila jumlah tenaga kerja tetap dipertahankan sama dengan pada saat masa panen. Mana yang lebih baik mempertahankan jumlah tenaga kerja namun lama kelamaan perusahaan akan mati karena harus menanggung beban fixed cost yang tidak sebanding dengan output yang dihasilkan atau dengan memanage jumlah tenaga kerja sehingga biaya operasional bisa disesuaikan?

Apa yang salah dengan outsourcing?
Melihat ilustrasi diatas tentunya tidak langsung menghakimi bahwa outsourcing disamakan dengan jin yang mempunyai kekuatan ataupun kompetensi yang diluar nalar maupun disamakan dengan asisten rumah tangga yang seakan sebagai penguasa di rumah atau seperti pekerja musiman yang bekerja pada saat dibutuhkan (habis manis sepah dibuang kemudian diberi pemanis lagi untuk dibuang lagi begitu seterusnya).
Outsourcing sebetulnya bisa menjadi suatu yang keren dan diminati banyak orang bila pemahamannya didudukan dengan benar. Sampai saat ini pengertian terhadap pekerjaan outsourcing adalah pekerjaan sepele yang tidak membutuhkan keahlian khusus atau pekerjaan tersebut bisa digantikan dengan cepat tanpa melalui pelatihan dan pendidikan khusus. Pengertian ini tidak sepenuhnya salah karena yang berkembang disini adalah hanya pekerjaan yang merupakan kegiatan penunjang perusahaan yang boleh dilakukan secara outsourcing.
Berangkat dari pengertian tersebut sehingga banyak perusahaan yang menganggap outsourcing adalah tenaga kerja kelas lima. Perusahaan tidak menerapkan win-win solution dengan tenaga outsourcing. Mereka akan cenderung mengintimidasi tenaga outsourcing untuk bekerja lebih keras atau siap-siap untuk digantikan dengan orang lain. Tidak jarang tenaga outsourcing yang digantikan hanya karena mereka menanyakan hak yang seharusnya mereka dapatkan.
Siapa yang mau dikatakan mengerjakan kegiatan penunjang perusahaan padahal pekerjaan tersebut dikerjakan dengan susah payah dan penuh perjuangan. Siapa yang mau diintimidasi dengan dikatakan banyak tenaga kerja lain diluar yang ingin bekerja atau saya bisa mendapatkan tenaga seperti kamu di perempatan trafic-light? Kalau kondisinya demikian, bagaimana dengan tenaga profesional yang dipekerjakan di perusahaan yang menganut project-based?
Ambil contoh perusahaan yang bergerak di bidang konsultansi. Perusahaan bekerja menurut project-based dan mungkin akan lebih efisien bila menggunakan associate consultant. Dengan associate consultant perusahaan tidak terbebani dengan fixed cost. Apakah associate consultant merupakan pekerjaan yang bisa digantikan dalam waktu cepat? Apakah menjadi associate consultant tanpa melalui pelatihan dan pendidikan? Kalau kita lihat penggunaan tenaga kerja asing, yang nota bene sebetulnya outsourcing juga, di suatu perusahaan. Sebetulnya mereka hanya boleh melakukan pekerjaan yang tidak menghambat proses produksi secara langsung. Tapi pada kenyataannya banyak yang melakukan pekerjaan seperti penjualan dan pemasaran hanya karena pelanggan berasal dari negara yang sama. Bagaimana dengan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri? Mungkin sama, hanya peraturan yang sedikit berbeda mensyaratkan keahlian dan sertifikat khusus untuk melakukan suatu kegiatan.

Bagaimana memperbaiki outsourcing?
Dalam Undang-Undang sebetulnya Pemerintah sudah cukup jelas mendefinisikan dan mengatur penggunaan outsourcing. Dalam UU No.13 tahun 2003 menggariskan bahwa penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga harus melalui suatu perjanjian tertulis dan diketahui oleh kedua belah pihak. Disitu juga disebutkan bahwa penyerahan pekerjaan tersebut bisa bersifat pemborongan pekerjaan ataupun hanya penyediaan jasa pekerja/buruh. Lebih jauh lagi diatur bahwa pihak ketiga tersebut haruslah suatu bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Artinya diluar dari kondisi tersebut tidak bisa diklasifikasikan sebagai penyerahan pekerjaan dan akan lemah secara hukum.
Dari uraian diatas sebetulnya sudah jelas perlunya perjanjian tertulis sebagai bentuk persetujuan penyerahan pekerjaan kepada pihak ketiga. Yang menjadi masalah bila dalam perjanjian tersebut tidak secara detail dan jelas menggambarkan apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebagai contoh, sebuah perusahaan menggunakan tenaga kerja outsourcing waktu tertentu dan berganti selang 3 bulan. Yang bisa terjadi adalah pada bulan kesatu dan kedua tenaga kerja tersebut akan menunjukan dedikasi yang cukup tinggi, namun memasuki akhir dari perjanjian semangat maupun motivasi kerja akan menurun karena yang terbayang adalah hari besok yang tidak ada pekerjaan. Tentunya yang dirugikan adalah perusahaan yang menggunakan tenaga kerja tersebut karena tidak mudah memutuskan hubungan kerja. Perusahaan yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Kembali sampai sejah mana perjanjian kerja mencakup risiko yang mungkin terjadi baik pihak pengusaha, perusahaan outsourcing, dan pekerja sendiri.
Bentuk dari penyerahan pekerjaan sebetulnya cukup jelas, borongan atau jasa tenaga kerja, hanya yang kemudian menjadi tidak jelas bila belum ada batasan maupun kriteria yang bisa digunakan untuk memisahkan kegiatan mana yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh pihak ketiga. Dalam UU disebutkan bahwa pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan lain dengan syarat bahwa pekerjaan tersebut terpisah dari kegiatan utama, tidak melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi, merupakan kegiatan penunjang, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Lantas siapa yang berkewajiban mendefinisikan apakah suatu pekerjaan adalah utama maupun penunjang. Apakah bisa dimaklumi kalau dalam industri yang sama beberapa perusahaan memiliki keyakinan yang berbeda-beda untuk mendefiniskan pekerjaan utama atau penunjang. Suatu kondisi yang rumit dan rawan penyelewengan. Akan lebih mudah bila pasal tersebut tidak perlu ada karena sesungguhnya sulit memisahkan kegiatan yang ada dalam perusahaan. Pada dasarnya setiap kegiatan yang ada dalam perusahaan haruslah berguna bagi perusahaan tersebut dan tidak dipisahkan utama maupun penunjang. Atau tugas pemerintah berikutnya adalah menganalisa dalam suatu industri tertentu mana yang menjadi utama dan penunjang.
Dalam hal pihak penyedia jasa yang harus berbentuk badan usaha dan memiliki izin dari instansi tertentu tentunya suatu persyaratan yang wajib dipenuhi. Bila berbicara mengenai badan usaha tentunya berbicara mengenai manajemen. Bagaimana pengelolaan keuangan, operasi, dan SDM-nya. Rasanya Pemerintah sudah cukup bijaksana dalam hal ini hanya saja dalam hal pengeluaran izin pembentukan badan usaha jangan dicampuri dengan faktor politis maupun sosial. Dalam suatu pengajuan tentunya Pemerintah perlu mempertimbangkan kemampuan dan kualitas organisasi. Disatu sisi baik dengan peningkatan status organisasi namun buat apa bila hanya untuk sementara. Hal ini yang sering menjadi keruwetan disaat suatu perusahaan penyedia jasa tidak mampu mengelola tenaga kerjanya, perusahaan pengguna jasa yang akan menanggung akibatnya.
Berkaca pada beberapa kasus yang terjadi belakangan dimana perusahaan sering dengan penggunaan tenaga outsourcing, bila tenaga outsourcing ingin mendapat tempat terhormat dan bukan warga kelas lima, semestinya 3P (Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja) duduk bersama untuk merumuskan secara lebih jelas prosedur penggunaan outsourcing di masing-masing industri. Pengertian outsourcing harus segera diubah sebagai tenaga terampil yang profesional bukan lagi hanya tenaga kerja yang sifatnya membantu dan mengerjakan pekerjaan penunjang. Sehingga alasan untuk mendapatkan biaya operasional yang rendah tidak lagi menjadi alasan peruahaan dalam menggunakan tenaga outsourcing.

Ke depan bila perusahaan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga adalah berdasarkan ingin mendapatkan kualitas hasil pekerjaan yang lebih baik dan bukan pada pertimbangan harga murah semata. Outsourcing juga jangan hanya dianggap sebagai peredam terhadap kekurangan tenaga kerja. Jangan lagi permintaan outsourcing diadakan tanpa ada suatu perencanaan. Perlu dipahami bahwa pengadaan tenaga outsourcing juga perlu suatu perencanaan dan perusahaan penyedia juga butuh waktu agar bisa memberikan tenaga yang profesional dan kompeten. Pengusaha jangan lagi memandang rendah terhadap tenaga outsourcing dan perusahaan penyedia juga jangan melupakan pengembangan dan jaminan hidup pekerja outsourcing. Dan akhirnya tenaga kerja outsourcing dapat bekerja dengan lebih profesional.

Thursday, July 3, 2014

Cara Mengatasi Permasalahan Pada Pemukiman Kumuh

Slum atau permukiman kumuh bisasanya digunakan untuk menggambarkan permukiman yang tumbuh secara spontan di perkotaan yang mempunyai kualitas perumahan di bawah standar minimal dalam lingkungan  yang kurang sehat dan tidak didukung oleh jasa pelayanan kota seperti air minum, sanitasi, drainase (gorong-gorong), jalur pejalan kaki dan jalan akses darurat. Ciri lain permukiman kumuh adalah tingkat kepadatan yang tinggi dan kurangnya akses ke fasilitas sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb. Status permukiman kumuh seringkali tidak jelas baik dari status administrasi dan hukum tanah, maupun kesesuaian dengan rencana tata ruang kota. Terkait status hukum atas tanah, biasanya hal ini yang membedakan permukiman kumuh (slum) dengan pemukiman liar (squatter). 
Menurut definisi UN-Habitat, rumah tangga dalam permukiman kumuh (slum household) adalah kelompok individu yang tinggal di bawah satu atap di daerah perkotaan yang tidak mempunyai salah satu dari indikator berikut: 
1.      Rumah yang kokoh, yang dapat melindungi penghuninya dari kondisi cuaca yang ekstrim 
2.      Ruang huni yang cukup, yang berarti tidak lebih dari 3 orang menghuni 1 ruang bersama
3.      Akses yang mudah ke air bersih (aman) dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau
4.      Akses ke sanitasi yang memadai, dalam bentuk toilet pribadi atau MCK bersama
5.      Kepastian atau rasa aman bermukim (secure tenure), yang dapat melindungi penghuninya dari penggusuran paksa.

Mengapa Permukiman Kumuh Berkembang? 
Permukiman kumuh bukan fenomena baru. Beberapa istilah permukiman kumuh di negara lain adalah barios (Venezuela), favela (Brazil),  katchi abadi (Pakistan), basti (Bangladesh), kampung kumuh (Indonesia), skidrow (UK), ghetto (USA), shanty town.  Banyak permukiman kumuh mempunyai sejarah panjang di kota-kota dunia, terutama pada tahun-tahun awal terjadinya urbanisasi dan industrialiasi dimana terjadi migrasi besar-besaran penduduk desa ke kota. Permukiman kumuh adalah salah satu cara masyarakat miskin mengatasi persoalan perumahan yang terjangkau. 
Dari pengamatannya di beberapa negara di Amerika Latin di tahun 1960-an, John Turner menyebutkan permukiman ini sebagai permukiman mandiri (autonomous settlement), dimana pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sesuai kemampuan mereka sendiri (Turner 1976). Permukiman semacam ini mempunyai potensi untuk menjadi lebih sehat atau teratur melalui bantuan prasarana, pengaturan dan pendampingan masyarakat. Ada dua alasan mengapa permukiman kumuh tetap berkembang. Alasan tersebut adalah pertumbuhan penduduk dan tata-kelola kepemerintahan (governance). 
1.      Pertumbuhan Penduduk
Tingkat pertumbuhan penduduk dunia di perkotaan semakin tinggi. Pertumbuhan ini dapat berasal melalui migrasi dari perdesan ke perkotaan, migrasi antar kota, maupun pertumbuhan penduduk alami. Beberapa faktor terjadinya mirgasi ke kota adalah karena faktor dorong dan tarik. Faktor dorong misalnya terjadinya bencana alam atau perubahan ekologi yang mengakibatkan berkurangnya peluang kerja, sedangkan faktor tarik ke kota karena adanya peluang kerja lebih baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik. Penghasilan yang rendah dari bidang pertanian merupakan faktor lain yang menyebabkan migrasi ke kota. Perubahan iklim yang terjadi sekarang ini sangat mempengaruhi masa dan hasil panen. Banyak petani terlilit hutang dan kehilangan tanah, serta terpaksa mencari lapangan kerja lain di kota. Migrasi ke kota juga merupakan strategi hidup masyarakat perdesaan. Seringkali migrasi terjadi secara temporer dan rutin, di mana masyarakat desa pergi ke kota dan mencari peluang kerja dengan menjadi pedagang kaki lima atau berjualan di warung. Setelah mengumpulkan sejumlah uang, mereka akan kembali ke desa. 

2.      Tata-kelola pemerintahan (governance)
Tata-kelola pemerintah yang kurang baik juga dapat memicu pertumbuhan permukiman kumuh. Pemerintah seringkali tidak mengakui hak masyarakat miskin dan melibatkan mereka dalam proses perencanaan. Hal ini justru mendukung pertumbuhan permukiman kumuh. Respon pemerintah yang lamban dalam menanggapi urbanisasi juga memicu pertumbuhan kumuh.
Urbanisasi membutuhkan perumahan yang terjangkau yang justru tidak mampu disediakan pemerintah atau swasta. Karena ketidak tersediaan hunian terjangkau, masyarakat miskin mencari peluang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya akan hunian dengan menempati tanah dan membangun gubuknya, atau menyewa rumah petak yang ada tanpa mempedulikan status tanahnya. 
Sikap pemerintah terhadap urbanisasi bervariasi – ada yang membuat kebijakan ‘kota tertutup’ (seperti Jakarta di tahun 1970-an), ada yang menggusur masyarakat miskin di permukiman liar (masih terjadi di Indonesia), ada pula yang pasif dan cenderung mendiamkan pertumbuhan permukiman spontan karena tidak mempunyai instrumen untuk menanganinya. 
Catatan statistik terkait penghuni permukiman kumuh yang berstatus liar (squatter) belum jelas atau kadang-kadang tidak ada karena pencatatan penduduk oleh pemerintah dianggap oleh para penghuni liar sebagai salah satu bentuk ‘pengakuan’ pemerintah terhadap keberadaan mereka di kota. 
Pendekatan untuk Mencegah Permukiman Kumuh Baru Menurut Cities Alliance (lembaga internasional yang menangani hibah, pengetahuan dan advokasi untuk kepentingan peningkatan permukiman kumuh di dunia) ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mencegah pertumbuhan permukiman kumuh baru.
Salah satu adalah mengakui bahwa urbanisasi akan tetap terjadi dan pemerintah perlu merencanakan di mana pendatang baru akan tinggal. Kebijakan alternatif untuk mengembangkan perdesaan masih dianggap kurang efektif. Meskipun demikian India mengadopsi kebijakan ini karena 75% wilayah India masih merupakan perdesaan. 

Secure Tenure atau kepastian bermukim adalah hak setiap individu dan kelompok atas perlindungan negara terhadap penggusuran yang tidak sesuai prosedur hukum atau persepsi akan terjadi penggusuran. Kepastian bermukim (Secure Tenure) Hak atas tanah adalah hak individu atau kelompok untuk menghuni atau menggunakan sebidang tanah. Hak atas tanah dapat berupa hak milik atau hak sewa.  Kejelasan hak atas tanah memberikan keyakinan akan masa depan - rasa aman karena kejelasan hak (sewa ataupun milik) akan meningkatkan kestabilan jangka panjang dan mengakibatkan penghuni berkeinginan berinvestasi untuk peningkatan kualitas rumah dan lingkungan mereka.
Perbaikan secara bertahap oleh masyarakat dapat meningkatkan kualitas komunitas.  Perlu ada kerangka kerja yang jelas tentang kepastian bermukim. Seringkali masyarakat permukiman kumuh menghadapi berbagai hambatan untuk memiliki atau memperoleh kejelasan hak atas tanah dan hak atas hunian yang layak. Pasar tanah pada umumnya agak disfungsional dan peraturan yang ada menyulitkan pemerintah daerah untuk mencari tanah terjangkau dan berada di lokasi yang strategis bagi penghuni permukiman kumuh yang padat. Pengendalian tanah seringkali terkait dengan kekuatan politik dan korupsi, sehingga menyulitkan memperoleh informasi tentang penguasaan dan kepemilikan tanah, penggunaan dan ketersediaan tanah. 

Hak warga kota
Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah bagian dari penduduk perkotaan, dan seharusnya mempunyai hak yang sama atas kesehatan dan pelayanan dasar kota. Hak ini seringkali dibatasi oleh kemampuan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan dasar ini. 
Proses merealisasi hak penghuni permukiman kumuh tergantung pada kapasitas mereka untuk berinteraksi dengan pemerintah. Salah satu kunci adalah menciptakan ‘ruang’ dimana masyarakat permukiman kumuh dan pemerintah dapat saling berdialog tentang peluang-peluang meningkatkan komunitas permukiman kumuh. Melalui dialog, setiap pihak dapat meletakkan hak dan tanggung jawab, serta merancang program peningkatan permukiman kumuh yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Apabila proses ini tidak dipahami oleh masyarakat dan pemerintah, maka akan sulit program ini berhasil.

Peningkatan Permukiman Kumuh (Slum Upgrading)
Slum upgrading atau peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana permukiman informal ditingkatkan secara bertahap, di’formal’kan dan dijadikan bagian dari kota, melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi, sosial, kelembagaan dan komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh. Peningkatan permukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih, drainase (gorong-gorong) atau perumahan, tapi lebih banyak memberikan perhatian pada bagaimana menggerakan kegiatan social ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara bersama-sama dengan pihak-pihak yang terlibat – baik warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah (tingkat pusat dan daerah).
Kegiatan ini juga mencakup penyediaan jasa pelayanan dasar seperti perumahan, jalan, pedestrian, drainase, air bersih, sanitasi dan pembuangan sampah. Akses ke pendidikan dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan kualitas. Salah satu komponen utama dalam peningkatan permukiman kumuh adalah meningkatkan status tanah (misalnya sertifikat tanah dan surat perjanjian pemanfaatan tanah) atau status administrasi permukiman (misalnya memberikan status RT/RW) sehingga dapat menjadi bagian dari kota. 
Pada akhirnya, upaya meningkatkan permukiman kumuh mempunyai tujuan untuk menciptakan dinamika dalam komunitas dimana tumbuh rasa pemilikan, manfaat dan investasi di dalam permukimannya. Mengapa Peningkatan Permukiman Kumuh Penting? 
Alasan utama peningkatan permukiman kumuh adalah agar masyarakat mempunyai hak dasar untuk hidup dengan martabat dan dalam kondisi yang layak. Meskipun kebanyakan masyarakat permukiman kumuh adalah migran, bukan alasan untuk tidak memberikan peluang hidup yang baik. Di tingkat yang lain, menjadi perhatian kota untuk meningkatkan permukiman kumuh dan mencegah pembentukan permukiman kumuh baru. Bila permukiman kumuh mengalami kemunduran kualitas, maka pemerintah dapat kehilangan kendali atas penduduk tersebut dan permukiman kumuh tersebut menjadi daerah dengan tingkat kejahatan tinggi dan kemungkinan penularan penyakit yang berpengaruh pada seluruh kota.
Manfaat peningkatan permukiman kumuh untuk kota adalah:
v  Meniningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kota – termasuk mengatasi masalah illegalitas, hambatan mengakses jasa pelayanan kota, akses ke kredit dan perlindungan sosial bagi kelompok masyarakat rentan
v  Mendorong pengembangan ekonomi – peningkatan permukiman kumuh dapat mendorong sumberdaya ekonomi yang ada 
v  Menjawab isu kota tentang penurunan kualitas lingkungan, peningkatan sanitas, penarikan investasi dan menurunkan tingkat kejahatan
v  Meningkatan kualitas kehidupan. Peningkatan permukiman kumuh meningkatkan kualitas kehidupan komunitas dan kota secara keseluruhan dengan memberikan kejelasan status kewargakotaan, peningkatkan kualitas hidup, meningkatkan keamanan dan kepastian tinggal.
v  Meningkatkan penyediaan hunian bagi masyarakat miskin dengan keterlibatan masyarakat - merupakan cara paling efektif karena dapat dilakukan dalam skala besar dengan biaya rendah. 

Belajar dari Program Peningkatan Permukiman Kumuh Kampung Improvement Program (KIP) – Indonesia 
Program  Kampung Improvement Program (KIP) dipelopori Indonesia di kota Jakarta dan Surabaya pada tahun 1969 dan menjadi program nasional di kota-kota Indonesia dengan dukungan Bank Dunia. Pada awalnya dilakukan secara top-down tapi dalam perkembangannya semakin melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Di Jakarta lebih dari 500 kampung yang meliputi 3.8 juta penduduk diperbaiki melalui KIP. Namun kritik utama terhadap KIP di Jakarta adalah lokasi yang sudah diperbaiki justru menjadi sasaran pengembangan pusat bisnis. Harga tanah meningkat setelah KIP dan menjadikan proyek pengembangan pusat bisnis menjadi sangat mahal. 
Di Surabaya, program KIP berhasil dikembangkan menjadi KIP Komprehensif yang melibatkan masyarakat melalui pendekatan Tri-Daya (sosial, ekonomi dan fisik lingkungan)  dan mengupayakan ijin bangunan dan sertifikasi tanah. Pemerintah Daerah Surabaya bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) dalam pengembangan konsep dan program ini. Keterlibatan masyarakat diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian Dewan atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan koperasi untuk kredit mikro dan dana bergulir. Program KIP Surabaya berhasil mendapat penghargaaan The Aga Khan Award for Architecture (1986), the UNEP Award (1990), the Habitat Award (1991). Program KIP Surabaya banyak ditiru oleh kota dan negara lain, seperti Pekalongan, Solo, dan Thailand. Bahkan program di Thailand menjadi lebih besar dan berhasil. Program KIP di Indonesia masih dilanjutkan di Surabaya. Di tingkat nasional program semacam ini diadopsi dengan beragam nama tergantung kemasan proyek dan donor misalnya Peningkatan Kualitas Kampung, Bedah Kampung, NUSSP, P2KP, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh instansi penerima bantuan. Akan tetapi sekarang masih sedikit kebijakan-strategi dan rencana aksi penanganan permukiman kumuh yang disepakati bersama secara nasional. 
Peran Pemerintah Daerah untuk program peningkatan kualitas permukiman kumuh menjadi semakin besar setelah otonomi daerah. Beberapa kota berhasil melakukan program peningkatan permukiman kumuh dengan pendekatan yang komprehensif dan mensinergikan sumber daya yang ada misalnya Surabaya, Solo dan Pekalongan. Bahkan kota Pekalongan dan Solo sudah pernah mendapatkan predikat ‘Good Practice’ dari panitia Dubai Award for Best Practices in Improving the Living Environment tahun 2008. 

Program Baan Mankong – Thailand 
Community Organizations Development Institute (CODI) adalah organisasi publik independen yang dibentuk pemerintah Thailand (dibawah Kementerian Pembangunan Sosial)  pada tahun 2000 dengan menggabungkan Urban Community Development Office (UDCO) dan Rural Development Fund (RDF). Menurut Somsook Boonyabancha, Direktur Eksekutif CODI (2000-2009), CODI justru belajar dari program KIP Indonesia dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat Thailand. Program Baan Mankong, yang berarti ‘secure housing atau perumahan aman, diluncurkan pada tahun 2003. Program ini menempatkan komunitas dan jaringannya sebagai pusat dari proses pengembangan solusi yang komprehensif untuk masalah tanah dan perumahan di kota-kota Thailand. Sistem perencanaan konvensional yang top-down digantikan dengan pengelolaan program berbasis masyarakat, di mana masyarakat menjadi pelaksana kegiatan yang mereka rencanakan dan prakarsai, dengan dukungan dari sistem jaringan komunitas, LSM, akademisi dan institusi pendidikan. 
Ada 5 strategi yang diterapkan dalam program Baan Mankong:
1.      peningkatan permukiman kumuh yang disebut in-situ,
2.      reblocking atau land readjustment,
3.      land sharing di mana ada perjanjian sewa atau perjanjian pemanfaatan tanah antara pemilik tanah dengan masyarakat,
4.      rekonstruksi atau pembangunan kembali dan
5.      relokasi. 

Untuk scaling-up proyek ini digunakan 4 pendekatan yaitu: 
o   Proyek uji coba yang dapat menjadi percontohan dan dikunjungi mereka yang ingin belajar dari pengalaman proyek tersebut
o   Pengembangan pusat pembelajaran di beberapa kota yang sudah berhasil melakukan peningkatan kualitas permukiman kumuh
o   Peresmian proyek yang dapat dikunjungi dan dilihat banyak orang 
o   Pertukaran pengalaman antar pelaku pembangunan permukiman kumuh

Langkah ke Depan 
Untuk mendukung Asia Pacific Ministerial Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD), Kelompok Kerja Permukiman Kumuh Indonesia telah mengidentifikasikan beberapa bidang yang perlu mendapat perhatian untuk peningkatan permukiman kumuh, yaitu: 
1.      Pengembangan sektor informal dan bisnis mikro
2.      Perkuatkan peran perempuan dan organisasi masyarakat dalam peningkatan permukiman kumuh
3.      Pengembangan kebijakan dan program berbasis komunitas 
4.      Peningkatan peran serta masyarakat dan pendekatan skala kota untuk penanganan permukiman kumuh 
5.      Penguatan sistem pembiayaan peningkatan permukiman kumuh
6.      Hasil Kelompok Kerja merekomendasikan perlunya dukungan bagi Pemerintah Daerah yang melakukan peningkatan permukiman kumuh skala kota, serta peningkatan peran Pemerintah sebagai ‘pemberdaya’ (enabler) dan penguatan sistem peningkatan permukiman kumuh berbasis komunitas.
7.      Di tingkat nasional perlu ada kebijakan strategi mengenai peningkatan permukiman kumuh dan road-map bagaimana tujuan yang telah dicanangkan dalam RPJMN 2025 dapat dicapai. Mudah-mudahan dengan adanya Slum Alleviation Policy and Action Plan (SAPOLA) yang didukung Cities Alliance di tahun 2011 dapat segera dirumuskan suatu kebijakan dan rencana aksi yang disepakati bersama para pemangku kepentingan.