Akhir-akhir ini istilah outsourcing
menjadi topik yang sering dibicarakan. Namun menjadi isue hangat pada saat May
Day, atau yang kita kenal dengan Hari Buruh, dimana buruh beramai-ramai
menentang penggunaan outsourcing karena dianggap tidak sesuai dengan
kemanusiaan. Sebelum terjerumus dengan perdebatan panjang maka sebaiknya secara
bersama memahami dulu apa itu outsourcing.
Outsourcing secara umum dapat
diartikan sebagai proses memperkerjakan pihak ketiga dengan suatu bentuk
kontrak. Dalam bukunya, Sukses Implementasi Outsourcing, Iftida Yasar
menyebutkan bahwa outsourcing adalah penyerahan kegiatan perusahaan baik
sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam
kontrak perjanjian. Apa kata Undang-Undang? Undang-Undang No.13 tahun 2003
pasal 64 menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Yang menjadi
kesamaan adalah penyerahan pelaksanaan pekerjaan dan diatur dalam bentuk
perjanjian tertulis.
Kenapa
Outsourcing?
Sebetulnya penyerahan pekerjaan
kepada pihak lain boleh dikatakan sudah ada sejak zaman dahulu. Pada saat ingin
memperistri Rara Jonggrang, Raden Bandung diberikan syarat berupa harus sanggup
membangun 1000 buah candi dalam waktu satu malam. Raden Bandung memanggil
Bandawasa, jin peliharaannya, yang kemudian memanggil jin-jin yang lain. Untuk
kondisi saat ini dimana budaya dalam rumah tangga sudah berubah, seorang istri
tidak hanya berada di rumah melainkan juga membantu mencari nafkah untuk
keluarga, banyak pekerjaan yang dilakukan oleh asisten rumah tangga mulai dari
membersihkan rumah, menjaga rumah, sampai menjaga anak baseta (dibawah sepuluh
tahun).
Bila melihat ilustrasi dari cerita
diatas, penyerahan pekerjaan bisa terjadi disaat pekerjaan tersebut tidak bisa
dilakukan sendiri. Baik karena tidak memiliki keahlian, atau yang sering kita
dengar dengan kompetensi, maupun karena ada pekerjaan lain yang akan menyita
perhatian lebih. Raden Bandung tentunya tidak memiliki kompetensi untuk
membangun 1000 buah candi bila dibantu dengan manusia biasa. Suami dan istri
yang bekerja tentunya memiliki sedikit kesempatan untuk bisa membersihkan
maupun menjaga rumah ataupun siapa yang ingin anak yang belum bisa mandiri
hidup tanpa pengawasan?
Penyerahan pekerjaan juga bisa
dilakukan pada saat kondisi yang ada akan mengalami perubahan yang cukup drastis
pada waktu singkat. Tentunya tanaman tidak akan selalu berbuah setiap saat, ada
masa tanam diikuti dengan masa kembang kemudian masa panen. Bila masuk masa
panen tentunya akan banyak hasil tanaman yang bisa diolah untuk di produksi,
namun memasuki masa tanam kemudian proses tentu produksi akan berkurang
kegiatannya. Produksi kemungkinan akan mengalami penurunan produktivitas yang
sangat luar biasa pada saat menunggu hasil panen bila jumlah tenaga kerja tetap
dipertahankan sama dengan pada saat masa panen. Mana yang lebih baik
mempertahankan jumlah tenaga kerja namun lama kelamaan perusahaan akan mati
karena harus menanggung beban fixed cost yang tidak sebanding dengan output
yang dihasilkan atau dengan memanage jumlah tenaga kerja sehingga biaya operasional
bisa disesuaikan?
Apa yang
salah dengan outsourcing?
Melihat ilustrasi diatas tentunya
tidak langsung menghakimi bahwa outsourcing disamakan dengan jin yang mempunyai
kekuatan ataupun kompetensi yang diluar nalar maupun disamakan dengan asisten
rumah tangga yang seakan sebagai penguasa di rumah atau seperti pekerja musiman
yang bekerja pada saat dibutuhkan (habis manis sepah dibuang kemudian diberi
pemanis lagi untuk dibuang lagi begitu seterusnya).
Outsourcing sebetulnya bisa menjadi
suatu yang keren dan diminati banyak orang bila pemahamannya didudukan dengan
benar. Sampai saat ini pengertian terhadap pekerjaan outsourcing adalah
pekerjaan sepele yang tidak membutuhkan keahlian khusus atau pekerjaan tersebut
bisa digantikan dengan cepat tanpa melalui pelatihan dan pendidikan khusus.
Pengertian ini tidak sepenuhnya salah karena yang berkembang disini adalah
hanya pekerjaan yang merupakan kegiatan penunjang perusahaan yang boleh
dilakukan secara outsourcing.
Berangkat dari pengertian tersebut
sehingga banyak perusahaan yang menganggap outsourcing adalah tenaga kerja
kelas lima. Perusahaan tidak menerapkan win-win solution dengan tenaga
outsourcing. Mereka akan cenderung mengintimidasi tenaga outsourcing untuk
bekerja lebih keras atau siap-siap untuk digantikan dengan orang lain. Tidak
jarang tenaga outsourcing yang digantikan hanya karena mereka menanyakan hak
yang seharusnya mereka dapatkan.
Siapa yang mau dikatakan mengerjakan
kegiatan penunjang perusahaan padahal pekerjaan tersebut dikerjakan dengan
susah payah dan penuh perjuangan. Siapa yang mau diintimidasi dengan dikatakan
banyak tenaga kerja lain diluar yang ingin bekerja atau saya bisa mendapatkan
tenaga seperti kamu di perempatan trafic-light? Kalau kondisinya demikian,
bagaimana dengan tenaga profesional yang dipekerjakan di perusahaan yang
menganut project-based?
Ambil contoh perusahaan yang
bergerak di bidang konsultansi. Perusahaan bekerja menurut project-based dan
mungkin akan lebih efisien bila menggunakan associate consultant.
Dengan associate consultant perusahaan tidak terbebani dengan fixed
cost. Apakah associate consultant merupakan pekerjaan yang bisa digantikan
dalam waktu cepat? Apakah menjadi associate consultant tanpa melalui pelatihan
dan pendidikan? Kalau kita lihat penggunaan tenaga kerja asing, yang nota bene
sebetulnya outsourcing juga, di suatu perusahaan. Sebetulnya mereka hanya boleh
melakukan pekerjaan yang tidak menghambat proses produksi secara langsung. Tapi
pada kenyataannya banyak yang melakukan pekerjaan seperti penjualan dan
pemasaran hanya karena pelanggan berasal dari negara yang sama. Bagaimana
dengan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri? Mungkin sama, hanya
peraturan yang sedikit berbeda mensyaratkan keahlian dan sertifikat khusus
untuk melakukan suatu kegiatan.
Bagaimana
memperbaiki outsourcing?
Dalam Undang-Undang sebetulnya
Pemerintah sudah cukup jelas mendefinisikan dan mengatur penggunaan
outsourcing. Dalam UU No.13 tahun 2003 menggariskan bahwa penyerahan pekerjaan
kepada pihak ketiga harus melalui suatu perjanjian tertulis dan diketahui oleh
kedua belah pihak. Disitu juga disebutkan bahwa penyerahan pekerjaan tersebut
bisa bersifat pemborongan pekerjaan ataupun hanya penyediaan jasa
pekerja/buruh. Lebih jauh lagi diatur bahwa pihak ketiga tersebut haruslah
suatu bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Artinya diluar dari kondisi
tersebut tidak bisa diklasifikasikan sebagai penyerahan pekerjaan dan akan
lemah secara hukum.
Dari uraian diatas sebetulnya sudah
jelas perlunya perjanjian tertulis sebagai bentuk persetujuan penyerahan
pekerjaan kepada pihak ketiga. Yang menjadi masalah bila dalam perjanjian
tersebut tidak secara detail dan jelas menggambarkan apa yang menjadi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Sebagai contoh, sebuah perusahaan menggunakan
tenaga kerja outsourcing waktu tertentu dan berganti selang 3 bulan. Yang bisa
terjadi adalah pada bulan kesatu dan kedua tenaga kerja tersebut akan
menunjukan dedikasi yang cukup tinggi, namun memasuki akhir dari perjanjian
semangat maupun motivasi kerja akan menurun karena yang terbayang adalah hari
besok yang tidak ada pekerjaan. Tentunya yang dirugikan adalah perusahaan yang
menggunakan tenaga kerja tersebut karena tidak mudah memutuskan hubungan kerja.
Perusahaan yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada
pihak lainnya sebesar upah sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Kembali sampai sejah mana perjanjian kerja mencakup risiko yang mungkin terjadi
baik pihak pengusaha, perusahaan outsourcing, dan pekerja sendiri.
Bentuk dari penyerahan pekerjaan
sebetulnya cukup jelas, borongan atau jasa tenaga kerja, hanya yang kemudian
menjadi tidak jelas bila belum ada batasan maupun kriteria yang bisa digunakan
untuk memisahkan kegiatan mana yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh pihak
ketiga. Dalam UU disebutkan bahwa pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan
lain dengan syarat bahwa pekerjaan tersebut terpisah dari kegiatan utama, tidak
melaksanakan kegiatan pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses
produksi, merupakan kegiatan penunjang, dan tidak menghambat proses produksi
secara langsung. Lantas siapa yang berkewajiban mendefinisikan apakah suatu
pekerjaan adalah utama maupun penunjang. Apakah bisa dimaklumi kalau dalam
industri yang sama beberapa perusahaan memiliki keyakinan yang berbeda-beda
untuk mendefiniskan pekerjaan utama atau penunjang. Suatu kondisi yang rumit
dan rawan penyelewengan. Akan lebih mudah bila pasal tersebut tidak perlu ada
karena sesungguhnya sulit memisahkan kegiatan yang ada dalam perusahaan. Pada
dasarnya setiap kegiatan yang ada dalam perusahaan haruslah berguna bagi
perusahaan tersebut dan tidak dipisahkan utama maupun penunjang. Atau tugas
pemerintah berikutnya adalah menganalisa dalam suatu industri tertentu mana
yang menjadi utama dan penunjang.
Dalam hal pihak penyedia jasa yang
harus berbentuk badan usaha dan memiliki izin dari instansi tertentu tentunya
suatu persyaratan yang wajib dipenuhi. Bila berbicara mengenai badan usaha
tentunya berbicara mengenai manajemen. Bagaimana pengelolaan keuangan, operasi,
dan SDM-nya. Rasanya Pemerintah sudah cukup bijaksana dalam hal ini hanya saja
dalam hal pengeluaran izin pembentukan badan usaha jangan dicampuri dengan
faktor politis maupun sosial. Dalam suatu pengajuan tentunya Pemerintah perlu
mempertimbangkan kemampuan dan kualitas organisasi. Disatu sisi baik dengan
peningkatan status organisasi namun buat apa bila hanya untuk sementara. Hal
ini yang sering menjadi keruwetan disaat suatu perusahaan penyedia jasa tidak mampu
mengelola tenaga kerjanya, perusahaan pengguna jasa yang akan menanggung
akibatnya.
Berkaca pada beberapa kasus yang
terjadi belakangan dimana perusahaan sering dengan penggunaan tenaga
outsourcing, bila tenaga outsourcing ingin mendapat tempat terhormat dan bukan
warga kelas lima, semestinya 3P (Pemerintah, Pengusaha, dan Pekerja) duduk
bersama untuk merumuskan secara lebih jelas prosedur penggunaan outsourcing di
masing-masing industri. Pengertian outsourcing harus segera diubah sebagai
tenaga terampil yang profesional bukan lagi hanya tenaga kerja yang sifatnya
membantu dan mengerjakan pekerjaan penunjang. Sehingga alasan untuk mendapatkan
biaya operasional yang rendah tidak lagi menjadi alasan peruahaan dalam
menggunakan tenaga outsourcing.
Ke depan bila perusahaan menyerahkan
sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga adalah berdasarkan ingin mendapatkan
kualitas hasil pekerjaan yang lebih baik dan bukan pada pertimbangan harga
murah semata. Outsourcing juga jangan hanya dianggap sebagai peredam terhadap
kekurangan tenaga kerja. Jangan lagi permintaan outsourcing diadakan tanpa ada
suatu perencanaan. Perlu dipahami bahwa pengadaan tenaga outsourcing juga perlu
suatu perencanaan dan perusahaan penyedia juga butuh waktu agar bisa memberikan
tenaga yang profesional dan kompeten. Pengusaha jangan lagi memandang rendah
terhadap tenaga outsourcing dan perusahaan penyedia juga jangan melupakan
pengembangan dan jaminan hidup pekerja outsourcing. Dan akhirnya tenaga kerja
outsourcing dapat bekerja dengan lebih profesional.